Jumat, 02 Maret 2012

Imam yang Empat adalah Satu,Mengapa kita Berselisih?
Imam, pemimpin panutan, sebenarnya sangatlah banyak. Sejak zaman para sahabat hingga kini jumlahnya tak terhitung dengan jari. Namun adalah suatu kenyataan bahwa imam yang begitu masyhur di kalangan umat, tidak hanya di Indonesia, adalah imam yang empat. Tersebutlah nama Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad yang sering menjadi rujukan oleh kebanyakan kaum muslimin. Meski banyak yang mengenalnya dan mengaku sebagai orang yang mengikutinya, ternyata tidak banyak yang mengetahui pendapatnya secara valid. Kebanyakan orang memang hanya mendengar dari orang lain atau tulisan orang lain. Pendapat dan pandangan yang banyak diketahui sebenarnya ‘hanyalah’ hanafiyyah, malikiyyah, syafi’iyyah, ataupun hanbaliyyah, dalam artian berbagai hal yang dinisbahkan (disandarkan) kepada masing-masing empat imam tersebut. Secara mendasar bisa jadi justru tidak sesuai dengan pendapat dan tulisan para imam yang empat tersebut seperti yang terdapat dalam kitab-kitab karyanya. Karena kebanyakan hanya berasal dari turunan dari tulisan orang-orang yang menisbahkan diri pada madzhab (pandangan) empat yang tidak jarang diwarnai ketidak-tahuan atau bahkan fanatik terhadap madzhab yang empat.

Istighatsah :Mendatangi Kuburan Orang-Orang Shalih
Pertanyaan: Lajnatu ad-Da-imatu lil-Buhuts al-Ilmiyati wal-Ifta’ ditanya; “Ada sebagian orang ketika dalam keadaan tertimpa musibah dan bencana, menyeru dalam do’anya; ‘Ya Rasulullah!’ Atau selain Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari para wali. Ketika dalam keadaan sakit mereka mendatangi kuburan orang-orang shalih dan ber-istighatsah (memohon bantuan/pertolongan) dengan perantaraan mereka. Mereka mengatakan; ‘Sesungguhnya Allah akan menghilangkan bala’ (musibah) dengan perantaraan orang-orang shalih. Memang kami memohon pertolongan kepada mereka tetapi niat kami adalah kepada Allah karena Allah-lah yang memberi pengaruh.’ Apakah (perkataan dan perbuatan) seperti ini syirik atau tidak, dan apakah mereka dikategorikan sebagai orang-orang musyrik, padahal mereka (juga) mengerjakan shalat, membaca al-Qur’an dan amal shalih yang lainnya?”
Larangan Beribadah Diatas Kuburan
Salah satu sarana dan celah yang dapat mengantarkan kepada perbuatan syirik, yaitu beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang shalih. Perbuatan ini telah menjadi fenomena yang telah lama ada, dan bahkan menjadi kebiasaan sebagian besar kaum muslimin di negeri ini. Bahkan bukan lagi beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang shalih tersebut, tetapi telah beribadah kepada orang shalih yang menghuni kuburan tersebut. Kuburan-kuburan orang shalih atau tempat-tempat yang konon merupakan lokasi kuburan orang shalih dikunjungi, lalu melakukan beragam peribadahan di sisinya, seperti; berdoa, shalat, membaca al-Qur’an, thawaf, sedekah dan sebagainya. Padahal dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dapat diketahui, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat keras sikapnya terhadap orang-orang yang beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang yang shalih. Kalau beribadah kepada Allah di sisi kubur saja, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap keras, tentu akan lebih keras lagi jika sampai beribadah kepada penghuni kubur tersebut.
Fatwa MUI tentang Pluralisme,Liberalisme & Sekularisme Agama
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil-Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M; MENIMBANG: 1. Bahwa pada akhir-akhir ini berkembang paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama serta paham-paham sejenis lainnya di kalangan masyarakat; 2. Bahwa berkembangnya paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut; 3. Bahwa oleh karena itu, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama tersebut untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam.
Asy'ariyyah Bukan Ahlus Sunnah
Asy’ariyyah adalah nama sebuah kelompok atau firqah ahli kalam yang menisbatkan diri kepada Abul-Hasan al-Asy’ari ketika menyatakan diri keluar dari kelompok Mu’tazilah. Asy’ariyyah menjadikan hujjah-hujjah dan dalil-dalil akal serta ilmu kalam untuk membantah kelompok Mu’tazilah, kaum filosof dan kelompok lain yang menyelisihinya. Bantahan itu dilakukan ketika menetapkan hakikat agama dan akidah Islam, mengikuti pemikiran Ibnu Kullab. Mereka mengklaim diri mereka sebagai Ahlus-Sunnah. Di negara kita sering disalah-pahamkan bahwa metode Asy’ariyah, sebagaimana Maturidiyah, adalah sama dengan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Surat Maryam Bukan Bicara Perayaan Natal
“Inilah ayat dalam al-Quran yang menyebutkan perlunya memberikan selamat natal Nabi ‘Isa,” kata seorang kyai nasional sembari menunjuk sebuah ayat. Masih kata kyai tersebut, kelahiran itu (adalah) maulid dalam bahasa Arabnya, bahasa Latinnya (adalah) natal, tambahnya. Jadi umat Islam pun mestinya tertuntut untuk ikut merayakan hari natal, demi menghormati Nabi ‘Isa. Kyai yang suka berkata kontroversial ini kemudian menyitir sebuah ayat dalam surat Maryam (yang artinya): “Kesejahteraan atas diriku pada hari aku dilahirkan, dan pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam : 33)
Fatwa MUI mengenal Hukum Natal Bersama
Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengenai Hukum Perayaan Natal Bersama yang dikeluarkan di Jakarta tanggal 1 Jumadil Awal 1401 Hijriyah. Mengingat (1) Perayaan Natal bersama pada akhir-akhir ini disalah-artikan oleh sebagian ummat Islam dan disangkakan sama dengan ummat Islam merayakan Maulid Nabi Besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (2) Karena salah pengertian tersebut ada sebagian orang Islam yang ikut dalam perayaan Natal dan duduk dalam kepanitiaan Natal, dan (3) Perayaan Natal bagi orang-orang Kristen adalah merupakan ibadah. Dan menimbang bahwa (1) Ummat Islam perlu mendapat petunjuk yang jelas tentang Perayaan Natal Bersama, dan (2) Ummat Islam agar tidak mencampur-adukkan aqidah dan ibadahnya dengan aqidah dan ibadah agama lain.
Bulan Suro Bulan Sial?
Bulan Muharram merupakan bulan pertama dalam perhitungan tahun Islam yang sering dikenal dengan tahun Hijriyah. Di Jawa khususnya, Indonesia pada umumnya, bulan Muharram dikenal dengan istilah Suro. Bagi sebagian pihak bulan Suro mempunyai nilai tersendiri. Kalau bagi umat Islam bulan Muharram mengandung hari yang disunnahkan untuk melakukan puasa sunnah. Di hari itu pula Musa diselamatkan dari kejaran Fir’aun. Sementara itu kaum penganut agama Syi’ah Rafidhah menganggap Muharram sebagai bulan kesedihan dan kesialan, demikian pula sebagian orang di Indonesia dalam memandang bulan Suro.
Kafirkah Orang yang Tidak Mengkafirkan orang Kafir?
Dalam masalah vonis kafir, pertama kita harus mengetahui, takfir (memvonis kafir) merupakan hukum syar’i. Artinya, harus merujuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana halnya hukum-hukum syar’i yang lain. Takfir merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Penerapan hukum wajib dan hukum haram, penetapan pahala dan siksa, penetapan hukum kafir atau fasik, rujukannya ialah Allah dan Rasul-Nya. Siapapun tidak berhak menetapkan hukum dalam masalah ini. Sesungguhnya wajib bagi siapa saja mewajibkan yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya dan mengharamkan yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu Fatawa, V/545)

Kesamaan Akidah Imam yang Empat

Aqidah imam empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad adalah yang dituturkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para Sahabat dan Tabi’in. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin (pokok agama). Mereka justru sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla, bahwa al-Qur’an itu dalam Kalam Allah, bukan makhluk, dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.
Dimanakah ALLAH SWT? Hakikat pertanyaan ini (dimana Allah) adalah upaya untuk menampakkan hakikat/jati diri dakwah-dakwah itu serta memperjelas, sejauh mana keikhlasan niat-niat (mereka). Sebab, dalam perhatian yang dicurahkan pada permasalahan hukum mengandung perhatian terhadap syariat dan dalam perhatian yang dicurahkan kepada masalah istiwa’ (bersemayamnya Allah Azza wa Jalla di atas ‘Arsy/singgasana-Nya), mengandung perhatian terhadap hak Allah. Namun, diantara kedua perhatian diatas terdapat perbedaan, yaitu bahwasanya pada perhatian yang pertama (terhadap hukum) seorang hamba memperoleh bagian untuk dirinya berupa apa yang sering diucapkan diatas lisan, seperti pengembalian segala sesuatu yang diambil secara zhalim (kepada pemiliknya), pemenuhan segala hak-hak (bagi mereka yang berhak menerimanya) dan kehidupan yang senantiasa tercukupi yang benar-benar telah dijanjikan Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya (yang artinya): “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. al-A’raaf : 96)