Imam yang Empat adalah Satu,Mengapa kita Berselisih?
Imam,
pemimpin panutan, sebenarnya sangatlah banyak. Sejak zaman para sahabat
hingga kini jumlahnya tak terhitung dengan jari. Namun adalah suatu
kenyataan bahwa imam yang begitu masyhur di kalangan umat, tidak hanya
di Indonesia, adalah imam yang empat. Tersebutlah nama Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad yang sering menjadi
rujukan oleh kebanyakan kaum muslimin. Meski banyak yang mengenalnya
dan mengaku sebagai orang yang mengikutinya, ternyata tidak banyak yang
mengetahui pendapatnya secara valid. Kebanyakan orang memang hanya
mendengar dari orang lain atau tulisan orang lain. Pendapat dan
pandangan yang banyak diketahui sebenarnya ‘hanyalah’ hanafiyyah,
malikiyyah, syafi’iyyah, ataupun hanbaliyyah, dalam artian berbagai hal
yang dinisbahkan (disandarkan) kepada masing-masing empat imam
tersebut. Secara mendasar bisa jadi justru tidak sesuai dengan pendapat
dan tulisan para imam yang empat tersebut seperti yang terdapat dalam
kitab-kitab karyanya. Karena kebanyakan hanya berasal dari turunan dari
tulisan orang-orang yang menisbahkan diri pada madzhab (pandangan)
empat yang tidak jarang diwarnai ketidak-tahuan atau bahkan fanatik
terhadap madzhab yang empat.
Larangan Beribadah Diatas Kuburan
Salah
satu sarana dan celah yang dapat mengantarkan kepada perbuatan syirik,
yaitu beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang shalih. Perbuatan
ini telah menjadi fenomena yang telah lama ada, dan bahkan menjadi
kebiasaan sebagian besar kaum muslimin di negeri ini. Bahkan bukan lagi
beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang shalih tersebut, tetapi
telah beribadah kepada orang shalih yang menghuni kuburan tersebut.
Kuburan-kuburan orang shalih atau tempat-tempat yang konon merupakan
lokasi kuburan orang shalih dikunjungi, lalu melakukan beragam
peribadahan di sisinya, seperti; berdoa, shalat, membaca al-Qur’an,
thawaf, sedekah dan sebagainya. Padahal dari hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dapat diketahui, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sangat keras sikapnya terhadap orang-orang yang
beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang yang shalih. Kalau
beribadah kepada Allah di sisi kubur saja, Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersikap keras, tentu akan lebih keras lagi jika sampai
beribadah kepada penghuni kubur tersebut.
Fatwa MUI tentang Pluralisme,Liberalisme & Sekularisme Agama
Majelis
Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22
Jumadil-Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M; MENIMBANG: 1. Bahwa pada
akhir-akhir ini berkembang paham pluralisme, liberalisme dan
sekularisme agama serta paham-paham sejenis lainnya di kalangan
masyarakat; 2. Bahwa berkembangnya paham pluralisme, liberalisme dan
sekularisme agama di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan
sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang
masalah tersebut; 3. Bahwa oleh karena itu, MUI memandang perlu
menetapkan fatwa tentang paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme
agama tersebut untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam.
Surat Maryam Bukan Bicara Perayaan Natal
“Inilah ayat dalam al-Quran yang menyebutkan perlunya memberikan selamat natal Nabi ‘Isa,” kata seorang kyai nasional sembari menunjuk sebuah ayat. Masih kata kyai tersebut, kelahiran itu (adalah) maulid dalam bahasa Arabnya, bahasa Latinnya (adalah) natal, tambahnya. Jadi umat Islam pun mestinya tertuntut untuk ikut merayakan hari natal, demi menghormati Nabi ‘Isa. Kyai yang suka berkata kontroversial ini kemudian menyitir sebuah ayat dalam surat Maryam (yang artinya): “Kesejahteraan atas diriku pada hari aku dilahirkan, dan pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam : 33)
“Inilah ayat dalam al-Quran yang menyebutkan perlunya memberikan selamat natal Nabi ‘Isa,” kata seorang kyai nasional sembari menunjuk sebuah ayat. Masih kata kyai tersebut, kelahiran itu (adalah) maulid dalam bahasa Arabnya, bahasa Latinnya (adalah) natal, tambahnya. Jadi umat Islam pun mestinya tertuntut untuk ikut merayakan hari natal, demi menghormati Nabi ‘Isa. Kyai yang suka berkata kontroversial ini kemudian menyitir sebuah ayat dalam surat Maryam (yang artinya): “Kesejahteraan atas diriku pada hari aku dilahirkan, dan pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam : 33)
Fatwa MUI mengenal Hukum Natal Bersama
Fatwa
Majelis Ulama Indonesia mengenai Hukum Perayaan Natal Bersama yang
dikeluarkan di Jakarta tanggal 1 Jumadil Awal 1401 Hijriyah. Mengingat
(1) Perayaan Natal bersama pada akhir-akhir ini disalah-artikan oleh
sebagian ummat Islam dan disangkakan sama dengan ummat Islam merayakan
Maulid Nabi Besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (2) Karena
salah pengertian tersebut ada sebagian orang Islam yang ikut dalam
perayaan Natal dan duduk dalam kepanitiaan Natal, dan (3) Perayaan
Natal bagi orang-orang Kristen adalah merupakan ibadah. Dan menimbang
bahwa (1) Ummat Islam perlu mendapat petunjuk yang jelas tentang
Perayaan Natal Bersama, dan (2) Ummat Islam agar tidak
mencampur-adukkan aqidah dan ibadahnya dengan aqidah dan ibadah agama
lain.
Kafirkah Orang yang Tidak Mengkafirkan orang Kafir?
Dalam masalah vonis kafir, pertama kita harus mengetahui, takfir (memvonis kafir) merupakan hukum syar’i. Artinya, harus merujuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana halnya hukum-hukum syar’i yang lain. Takfir merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Penerapan hukum wajib dan hukum haram, penetapan pahala dan siksa, penetapan hukum kafir atau fasik, rujukannya ialah Allah dan Rasul-Nya. Siapapun tidak berhak menetapkan hukum dalam masalah ini. Sesungguhnya wajib bagi siapa saja mewajibkan yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya dan mengharamkan yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu Fatawa, V/545)
Dalam masalah vonis kafir, pertama kita harus mengetahui, takfir (memvonis kafir) merupakan hukum syar’i. Artinya, harus merujuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana halnya hukum-hukum syar’i yang lain. Takfir merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Penerapan hukum wajib dan hukum haram, penetapan pahala dan siksa, penetapan hukum kafir atau fasik, rujukannya ialah Allah dan Rasul-Nya. Siapapun tidak berhak menetapkan hukum dalam masalah ini. Sesungguhnya wajib bagi siapa saja mewajibkan yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya dan mengharamkan yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu Fatawa, V/545)
Kesamaan Akidah Imam yang Empat
Aqidah imam empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad adalah yang dituturkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para Sahabat dan Tabi’in. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin (pokok agama). Mereka justru sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla, bahwa al-Qur’an itu dalam Kalam Allah, bukan makhluk, dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.
Dimanakah ALLAH SWT?
Hakikat
pertanyaan ini (dimana Allah) adalah upaya untuk menampakkan
hakikat/jati diri dakwah-dakwah itu serta memperjelas, sejauh mana
keikhlasan niat-niat (mereka). Sebab, dalam perhatian yang dicurahkan
pada permasalahan hukum mengandung perhatian terhadap syariat dan dalam
perhatian yang dicurahkan kepada masalah istiwa’ (bersemayamnya Allah
Azza wa Jalla di atas ‘Arsy/singgasana-Nya), mengandung perhatian
terhadap hak Allah. Namun, diantara kedua perhatian diatas terdapat
perbedaan, yaitu bahwasanya pada perhatian yang pertama (terhadap
hukum) seorang hamba memperoleh bagian untuk dirinya berupa apa yang
sering diucapkan diatas lisan, seperti pengembalian segala sesuatu yang
diambil secara zhalim (kepada pemiliknya), pemenuhan segala hak-hak
(bagi mereka yang berhak menerimanya) dan kehidupan yang senantiasa
tercukupi yang benar-benar telah dijanjikan Allah Azza wa Jalla dalam
firman-Nya (yang artinya): “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri
itu beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi.” (QS. al-A’raaf : 96)